Kamis, 20 Maret 2014

PSIKOLOGI PENDIDIKAN



TEORI INTELIGENSI
A.    Memahami Muitiple Inteligensi
Inteligensi adalah kemampuan yang di bawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara yang tertentu.
Menurut Teory Of Muitiple Inteligences dari Gardner (1983-2003), paling tidak ada delapan Inteligensi yang terpisah yaitu: linguistic (verbal), musical, spasial, logis-matematis, jasmaniah-kinestis (gerakan), interpersonal (memahami orang lain), intrapersonal (memahami diri sendiri), dan naturalis (memahami dan mengamati pola dan system-sistem alamiah dan buatan manusia). Gardner menekankan bahwa mungkin lebih banyak lagi jenis inteligensi, delapan bukan angka ajaib. Baru- baru ini, ia berspekulasi bahwa mungkin ada inteligensi  spiritual dan inteligensi eksistensial yaitu: kemampuan untuk mengontemplasikan  pertanyaan-pertanyaan besar tentang makna hidup (Gardner 2003). Gardner mendasarkan gagasannya tentang kemampuan-kemampuan yang terpisah itu pada bukti-bukti bahwa kerusakan otak (akibat stroke, misalnya) sering kali mengganggu fungsi di salah satu bidang, misalnya bahasa, tetapi tidak mempengaruhi fungsi bidang-bidang lainnya. Selain itu individu-individu mungkin unggul di salah satu di antara kedelapan bidang tersebut, tetapi tidak memiliki kemampuan yang menonjol di ketujuh bidang lainnya.
Muitiple Inteligensi di sekolah. Salah satu keunggulan  perspektif Gardner adalah memperluas pemikiran Guru tentang kemampuan dan  jalur pengajaran. Akan tetapi teori ini telah di gunakan secara keliru. Sebagian Guru memakai versi simplistic. Mereka memasukkan semua “inteligensi”  ke dalam setiap pelajaran, tanpa memedulikan apropriasinya.
B.     Teori-teori Inteligensi dapat di bedakan menjadi  empat yaitu:
1. Teori Faktor
Teori ini dikembangkan oleh Spearman, dia mengembangkan teori dua factor dalam kemampuan mental manusia. Yakni :
a. teori factor “g” (factor kemampuan umum) : kemampuan menyelesaikan masalah atau tugas – tugas secara umum (misalnya, kemampuan menyelesaikan soal – soal matematika)
b. teori factor “s” (factor kemampuan khusus) : kemampuan menyelesaikan masalah atau tugas – tugas secara khusus (misalnya, mengerjakan soal – soal perkalian,atau penambahan dalam matematika)
2. Teori Struktural Intelektual
Teori ini dikembangkan oleh Guilford, dia mengatakan bahwa tiap tiap kemampuan memiliki jenis keunikan tersendiri dalam aktifitas mental atau pikiran (operation), isi informasi (content), dan hasil informasi (product).penjelasannya adalah sbb :
a. Operation (aktivitas pikiran atau mental)
• Cognition yaitu aktivitas mencari, menemukan, mengetahui dan memahami informasi. Misalnya mengetahui makna kata “adil” atau “krisis”
• Memory yakni menyimpan informasi dalam pikiran dan mempertahankannya
• Divergent production yakni proses menghasikan sejumlah alternative informasi dari gudang ingatan untuk memenuhi kebutuhan, misalnya mengusulkan sejumlah judul sebuah cerita
• Convergent production yaitu penggalian informasi khusus secara penuh dari gudang ingatan. Misalkan menemukan kata – kata yang cocok untuk jawaban TTS
• Evaluation yakni memutuskan yang paling baik dan yang cocok dengan tuntunan berpikir logis
b. Content (isi informasi)
• Visual yaitu informasi – informasi yang muncul secara langsung dari stimulasi yang diterina oleh mata
• Auditory yakni informasi – informasi yang muncul secara langsung dari stimulasi yang diterina oleh system pendengaran (telinga)
• Simbolic yaitu item – item informasi yang tersusun urut bersamaan dengan item – item yang lain.
• Misalnya sederet angka, huruf abjad dan kombinasinya
• Sematic biasanya berhubungan dengan makna atau arti tetapi tidak melekat pada symbol – symbol kata
• Behavioral yakni item informasi mengenai keadaan mental dan perilaku individuuang dipindahkan melalui tindakan dan bahasa tubuh.
c. Product (bentuk informasi yang dihasilkan)
• Unit yaitu suatu kesatuan yang memiliki suatu keunuikan didalam kombinasi sifat dan atributnya, contoh bunyi musik,cetakan kata
• Class yakni sebuah konsep dibalik sekumpulan obyek yang serupa. Misalkan bilangan genap dan ganjil
• Relation yakni hubungan antara dua item. Contoh dua orang yang memiliki huruf depan berurutan, Abi kawin dengan Ani
• Sistem yakni tiga item atau lebih berhubungan dalam suatu susunan totalitas. Misalkan tiga orang berinteraksi didalam sebuah acara dialog di TV
• Transformation yaitu setiap perubahan atau pergantian item informasi
• Implication yakni item informasi diusulkan oleh item informasi yang sudah ada. Misalkan melihat 4X5 dan berpikir 20.
3. Teori Kognitif
Teori ini dikembangkan oleh Sternberg menurutnya inteligensi dapat dianalisis kedalam beberapa komponen yang dapat membantu seseorang untuk memecahkan masalahnya diantaranya :
• Metakomponen adalah proses pengendalian yang terletak pada urutan lebih tinggi yang digunakan untuk melaksanakan rencana, memonitor, dan mengevaluasi kinerja dalam suatu tugas
• Komponen kinerja adalah proses – proses pada urutan lebih rendah yang digunakan untuk melaksanakan berbagai strategi bagi kinerja dalam tugas
• Komponen perolehan pengetahuan adalah proses – proses yang terlibat dalam mempelajari informasi baru dan penyimpanannya dalam ingatan

4. Teori Inteligensi Majemuk (multiple intelligences)
Teori ini dikembangkan oleh Howard Gadner, dalam teorinya ia mengemukakan sedikitnya ada tujuh jenis inteligensi yang dimiliki manusia secara alami, diantaranya :
Inteligensi bahasa (verbal or linguistic intelligence) yaitu kemampuan memanipulasi kata – kata didalam bentuk lisan atau tulisan. Misalnya membuat puisi
Inteligensi matematika-logika (mathematical-logical) yaitu kemampuan memanipulasi system-sistemangka dan konsep-konsep menurut logika. Misalkan para ilmuwan bidang fisika, matematika
• Inteligensi ruang (spatial intelligence) adalah kemampuan untuk melihat dan memanipulasi pola-pola dan rancangan. Contohnya pelaut, insinyur dan dokter bedah
• Inteligensi musik (musical intelligence) adalah kemampuan memahami dan memanipulasi konsep-konsep musik. Contohnya intonasi, irama, harmoni
• Inteligensi gerak-tubuh (bodily-kinesthetic intelligence) yakni kemampuan untuk menggunakan tubuh dan gerak. Misalkan penari, atlet
• Inteligensi intrapersonal yaitu kemampuan untuk memahami perasaan – perasaan sendiri, refleksi, pengetahuan batin, dan filosofinya, contohnya ahli sufi dan agamawan
• Inteligensi interpersonal yaitu kemmampuan memahami orang lain, pikiran maupun perasaan – perasaannya, misalnya politis, petugas klinik, psikiater
2.2 PERBEDAAN GAYA BELAJAR SISWA
1. Perbedaan Kemampuan
               Kemampuan  sering diartikan  secara sederhana sebagai kecerdasan. Para peneliti tentang perbadaan individu dalam belajar mengasumsikan bahwa kecerdasan adalah kemampuan dalam belajar.  Kemampuan umum didefinisikan sebagai prestasi komparatif individu dalam berbagai tugas, termasuk memecahkan masalah dengan waktu yang terbatas . kemampuan juga meliputi kapasitas individu  untuk  memahami tugas, dan untuk ,menemukan strategi pemecahan masalah yang cocok, serta prestasi individu dalam sebagian besar tugas-tugas belajar.  Perbedaan kecerdasan dapat dipahami dari berbedaan skor yang dihasilkan dari tes kecerdasan. Pengukuran kecerdasan manusia mengikuti suatu distribusi normal.  Seseorang yang memiliki skor tes kecerdasan diatas 130 biasa di sebut gifted.  Anak-anak gifted berasal dari  anak-anak professional, bahwa anak-anak gifted lebih banyak dating dari kelas social ekonomi tinggi.  Beberapa dari anak dari kelompok gifted tersebut terlibat dari perkara kriminal, droup out dari sekolah lebih dini atau gagal dalam beberapa pelajaran. Mereka kurang sukses karena secara emosional kurang matang atau kurang motivasi  di bandingkan yang lain. Anak-anak gited kemungkinan memiliki kemungkinan untuk mengalami kesulitan serius di sekolah. Mereka mungkin sangat bosan sebayanya dan pengetahuannya mungkin melebihi apa yang di sampaikan oleh guru. Guru mungkin melihatnya sebagai tidak sopan atau cari perhatian. Dia menjadi bermasalah berada di kelas yang di rancang untuk anak-anak “rata-rata”, selain itu juga mengalami kesulitan dalam belajar. Anak –anak gifted perlu mendapat perhatian. Pendidikan yang direncanakan harus sesuai dengan kebutuhan mereka. Yaitu memusatka pada kekuatan, minat, dan kapasitas intelektual mereka yang superior.  Bagi mereka yang kesulitan dalam belajar perlu mengunakan stategi kompesensi.
            Anak terbelakang yaitu mereka yang memiliki IQ di bawah 70. Anak-anak  terbelakng memerlukan pendidikan khusus yang sesuai dengan drajat  keterbelakangannya, misalnya pendidikan luar biasa bagi anak tergolong mild retardation dan moderat. Tujuan dari sekolah luar biasa tidak berbeda denagan tujuan sekolah anak-anak normal, yakni melatih  belajar membaca dan berhitung  disertai dengan mengembangkan keterampilan social anak, keterampilan tangan sesuai dengan bakat anak dan latihan tanggung jawab dalam masyarakat.
2. Perbedaan Gaya Belajar
Belajar merupakan proses internal yang di ukur melalui perilaku.  Adanya perbedaan kognitif, akfektif, maupun psikomotorik diantara para siswa mempengaruhi pilihan belajar mereka yang muncul dalam bentuk perbedaan gaya belajar. Gaya belajar dapat menjelaskan perbedaan belajar diantara siswa dalam setting pembelajaran yang sama. Gaya belajar adalah pola perilaku spesifik dalam menerima informasi baru dan mengembangkan keterampilan baru, serta proses penyimpanan informasi baru dan mengembangkan keterampilan baru. Gaya belajar merupakan kumpulan karakteristik pribadi yang membuat suatu pembelajaran efektif untuk beberapa orang dan tidak efektif untuk orang lain.
             Keefe (19880 menyatakan behwa gaya belajar berhubungan dengan cara anak belajar, serta cara belajar anak yang disukai. Siswa akan memperoleh informasi dalam satu cara yang dirasakan tidak nyaman baginya. Siswa memiliki kebutuhan belajar sendiri, belajar dengan cara berbeda. Oleh karena itu jika gaya mengajar guru tidak memperhatikan kebutuhan khusus mereka, maka belajar tidak akan terjadi. Ketika guru mengajar sesuai dengan gaya belajar siswa, guru sama dengan memberitahu pada siswa bahwa dia mengetahui mereka adalah individu yang mungkin belajar dengan cara berbeda dengan siswa lain.
Menurut Bernice mccarthy (1980) mengidentifikasi 4 macam gaya belajar yaitu :
a.         Mengalami (merasakan dan mereflesikan )- innovative learner, orang dengan tipe ini memilih berbicara mengenai pengalaman dan perasaan mereka, bertanya atau bekerja dalam kelompok. Mereka menyukai belajar masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan nyata, diasuh oleh guru, diberi atas pertanyaan “mengapa”.
b.         Mengkonseptualisasikan (mereflesikan dan memikirkan) orang tipe ini berorientasi pada pengetahuan, konseptual dan keteraturan. Mereka memilih belajar melalui ceramah-ceramah, bekerja secara mandiri, serta mendiskusikan ide-ide.
c.         Mengaplisasikan, orang dengan tipe belajar ini suka memecahkan masalah secara aktif, belajar melalui pencarian, sentuhan, manipulasi, membentuk dan tugas-tugas special.
d.        Membentuk  (membentuk dan melakukan) orang dengan tipe belajar ini memilih belajar dengan menemukan sendiri, mancari pengetahuan dengan trial and eror, dan bekerja secara mandiri.
Lain ladang, lain ikannya. Lain anak, lain pula gaya belajarnya. Pepatah di atas memang pas untuk menjelaskan fenomena bahwa tak semua anak punya gaya belajar yang sama. Meskipun mereka bersekolah di sekolah atau bahkan duduk di kelas yang sama. Kemampuan setiap anak dalam memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang dan ada pula yang sangat lambat. Karenanya, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Sebagian siswa lebih suka jika belajar dengan cara membaca dari hasil tulisan guru di papan tulis. Tapi, sebagian siswa lain lebih suka menerima materi pelajaran dengan cara guru menyampaikannya secara lisan dan mereka mendengarkan untuk bisa memahaminya.
                 Sementara itu, tidak sedikit siswa yang mempunyai model belajar dengan menempatkan guru tak ubahnya seorang penceramah. Guru diharapkan bercerita panjang lebar tentang beragam teori dengan segudang ilustrasinya, sementara para siswa mendengarkan sambil menggambarkan isi ceramah itu dalam bentuk yang hanya mereka pahami sendiri. Apa pun cara yang dipilih, gaya belajar menunjukkan mekanisme setiap individu menyerap sebuah informasi dari luar dirinya. Karenanya, jika kita bisa memahami perbedaan gaya belajar setiap anak dan memberikan materi pelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya akan memberikan hasil yang optimal bagi dirinya. Dalam buku Quantum teaching, ada beberapa tipe gaya belajar.
1.      Gaya Belajar Visual. Gaya belajar seperti ini bercirikan harus melihat dulu buktinya baru bisa mempercayainya. Karakteristik yang khas gaya belajar visual: pertama adalah kebutuhan melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual, kedua teratur, memperhatikan segala sesuatu dan menjaga penampilan, ketiga mudah mengingat jika dengan gambar, dan lebih suka membaca daripada dibacakan. Pendekatan yang bisa digunakan agar anak bisa menerima  informasi / materi pelajaran secara optimal: pertama adalah menggunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi pelajaran. Perangkat grafis itu bisa berupa film, slide, gambar ilustrasi, coretan-coretan, kartu bergambar, catatan dan kartu-kartu gambar berseri yang bisa digunakan untuk menjelaskan suatu informasi secara berurutan.
2.      Gaya belajar auditorial atau gaya belajar yang mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, anak harus mendengar, baru kemudian bisa mengingat dan memahami informasi yang diterimanya. Karakter yang lain bagi anak bertipe ini: perhatiannya mudah terpecah, dan jika belajar dengan cara menggerakkan bibir/bersuara saat membaca. Pendekatan yang bisa dilakukan bila anak memiliki kesulitan belajar seperti di atas: pertama, menggunakan tape perekam sebagai alat bantu. Alat ini digunakan merekam bacaan atau catatan yang dibacakan atau ceramah pengajar di depan kelas untuk kemudian didengarkan kembali. Dan yang kedua adalah dengan wawancara atau terlibat dalam kelompok diskusi.  Sedang pendekatan ketiga yaitu dengan mencoba membaca informasi, kemudian diringkas dalam bentuk lisan dan direkam untuk kemudian didengarkan dan dipahami. Langkah terakhir adalah dengan melakukan review secara verbal dengan teman atau pengajar.
3.      Gaya belajar kinestetik yakni harus menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar bisa mengingatnya. Tentu saja, ada beberapa karekteristik gaya belajar seperti ini yang tak semua anak bisa melakukannya. Pertama adalah menerima informasi/pelajaran dengan cara menyentuh, berdiri berdekatan dan banyak bergerak. Sedang kedua, saat membaca sambil menunjuk tulisan. Karakter ketiga adalah anak tidak bisa/tahan duduk terlalu lama untuk mendengarkan pelajaran. Keempat, anak merasa bisa belajar lebih baik bila berjalan. Untuk anak yang memiliki karakteristik seperti di atas, pendekatan belajar yang mungkin bisa dilakukan adalah belajar berdasarkan atau melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai model atau peraga, bekerja di laboratorium atau bermain sambil belajar. Cara lain yang juga bisa digunakan adalah secara tetap membuat jeda di tengah waktu belajar. Tak jarang, orang yang cenderung memiliki karakter Kinestetik juga akan lebih mudah menyerap dan memahami informasi dengan cara menjiplak gambar atau kata untuk belajar mengucapkannya atau memahami fakta.
               Penggunaan komputer bagi anak yang memiliki karakter kinestetik akan sangat membantu. Karena, dengan komputer ia bisa terlibat aktif dalam melakukan touch, sekaligus menyerap informasi dalam bentuk gambar dan tulisan. Selain itu, agar belajar menjadi efektif dan berarti, anak dengan karakter di atas disarankan untuk menguji memori ingatan dengan cara melihat langsung fakta di lapangan. Setiap anak itu unik. Tidak semua anak memproses suatu informasi dengan cara yang sama. Sebagai pendidik, pelatih dan orang tua, kita harus mengetahui bagaimana perbedaan gaya berfikir mereka yang kemudian diterjemahkan kedalam gaya belajar yang berbeda. Adakalanya pendidik, pelatih maupun orang tua memaksakan kehendak untuk mengikuti gaya belajar mereka. Biasanya gaya berfikir diri sendiri akan mendominasi pendekatan yang digunakan saat mengajar. Sebagai pengajar, pelatih dan pendidik kita cenderung mengajar dengan cara yang sama seperti cara belajar yang kita sukai sendiri. Padahal dibalik gaya belajar individual anak ada satu manfaat yang besar dari balik kekuatan gaya belajar yang berbeda.
Gaya belajar juga dipengaruhi oleh modalitas perseptual yaitu reaksi khas individual dalam mengadopsi data secara efisien yang dipengaruhi oleh faktor biologis, dan lingkungan fisik. Ada empat gaya belajar ditinjau dari modalitas perseptual:
a.    Visual learners are learning through seeing. Siswa dengan gaya ini membutuhkan melihat langsung bahasa tubuh guru, ekspresi wajah, untuk dapat memahami sepenuhnya isi pelajaran. Mereka cenderung duduk di deretan depan untuk menghindari penghalang pandangan mata
(misalnya kepala teman-temannya). Mereka cenderung berpikir dalam bentuk piktorial dan mempelajari sesuatu paling efektif dari tampilan visual seperti diagram, buku yang berilustrasi, transparensi (slides), video, flipcharts, dan handouts.
Selama pelajaran atau diskusi kelas berlangsung, mereka lebih suka mencatat untuk menyerap informasi.
b. Auditory learnersare learning through listening. Mereka paling mudah menangkap informasi melalui pembicaraan, ceramah, diskusi, mengungkapkan sesuatu, dan mendengar apa yang orang lain katakan. Siswa dengan modalitas auditori menginterpretasi (menafsirkan) arti pembicaraan dengan mendengarkan suara, nada, kecepatan, dan intonasi. Informasi tertulis hanya sedikit berpengaruh, tetapi akan sangat berpengaruh jika dibacakan atau dijelaskan. Siswa seperti ini sangat terbantu dengan metode membaca keras (reading aloud) dan menyetel tape recorder.
c. Tactile or kinesthetic learners are learning by moving, doing, and touching.
Siswa dengan modalitas perasa, peraba, dan kinestetik paling efektif menyerap informasi melalui menyentuh dengan tangan, merasakan melalui indera pencecap, mencium aroma, melakukan gerakan-gerakan, unjuk kerja, dan aktif mengeksplorasi lingkungan. Mereka kesulitan jika harus duduk berlama-lama dan mudah pecah konsentrasinya karena keinginan untuk aktif bergerak dan mengeksplorasi. Pada bagian ini, modalitasnya juga dikenal dengan sebutan kinestetik, olfaktori (penciuman), dan gustatif (perasa). Pemprosesan informasi di otak terjadi dengan cara berbeda dalam aktivitas merasakan, memikirkan, memecahkan masalah, dan mengingat informasi. Masing-masing individu lebih menyukai cara tertentu, yang dipakai terus-menerus, cara mempersepsi, mengorganisir, dan memelihara informasi. Misalnya, belajar melalui workshop, praktikum, atau metode informal lainnya mungkin lebih cocok bagi orang tertentu. Kadangkala, orang merasa kurang bisa menyerap pelajaran, padahal masalahnya bukan karena kesulitan memahami pelajaran namun karena ia kurang mengenali gaya belajarnya yang paling sesuai untuk dirinya sendiri.
Selain modalitas perseptual, kepribadian seseorang juga mempengaruhi cara belajarnya. Aspek-aspek kepribadian yang perlu diperhatikan terkait dengan gaya belajar adalah bagaimana fokus atau perhatian, kondisi emosionalitas, dan nilai-nilai yang diyakini siswa. Dengan memahami ketiga aspek kepribadian ini, maka kita dapat memprediksi bagaimana reaksi dan apa yang dirasakan siswa terhadap situasi yang berbeda-beda.
Fokus atau perhatian siswa dapat dipahami sebagai minat (interest). Masing-masing siswa memiliki ragam minat dan derajat yang berbeda-beda dalam berbagai bidang. Ruang lingkup minat fokus atau perhatian adalah segala sesuatu yang dapat menarik minat siswa. Pada masa sekarang ini, apa saja bisa menjadi hobi (kesukaan) anak baik berupa kesenangan terhadap suatu aktivitas, benda, atau situasi. Ada siswa yang sangat tertarik dengan membaca komik, bermain games, berolah raga, musik, tari, modeling, film, belanja, menghafal Al Qur’an, membaca buku, otak-atik komputer, otak-atik mesin, berjualan, memasak, menjahit, desain, dan sebagainya. Seorang guru perlu memahami apa saja minat atau hobi siswa. Pemahaman ini dapat digunakan untuk menata kegiatan kelas, ekstrakurikuler, dan strategi belajar yang tepat untuk siswa.
Misalnya saja pelajaran menghafal surat-surat pendek dapat dilakukan dengan strategi merekam suara atau mem-film-kan penampilan setiap anak. Jadi dengan mendekatkan antara beragam minat siswa dengan materi pelajaran, maka ketertarikan terhadap aktivitas yang disukai tersebut dapat digeneralisir siswa sebagai ketertarikan pada pelajaran sekolah.
Emosionalitas siswa merupakan bagian penting yang perlu dikenali guru, sebab aktivitas berpikir seseorang tidak terpisah dari emosi. Setidaknya ada dua unsur emosionalitas yang perlu diperhatikan yaitu mood (suasana hati) dan emosionalitas secara umum. Suasana hati adalah kondisi emosionalitas yang dapat berubah sewaktu-waktu. Suasana hati bersifat temporer atau sementara. Misalnya saat udara panas, belum sarapan, dan tugas sekolah banyak yang harus dikerjakan, maka suasana hati para siswa cenderung negatif. Sementara emosionalitas secara umum merujuk pada emosi siswa yang diekspresikan secara lebih persisten.
Ada siswa yang lebih menyimpan perasaan, tenang, hati-hati, dan pendiam (reserved). Ada pula yang lebih ekspresif atau spontan(loose or movable). Dengan kemampuan memahami minat siswa, kita bisa memancing siswa yang pendiam menjadi lebih aktif dalam aktivitas belajar.
Apabila guru mengetahui minat siswa yang ekspresif, maka mereka dapat lebih berkonsentrasi belajar. Untuk itu guru perlu berlatih memperhatikan suasana hati dan kecenderungan emosionalitas siswa.
Nilai atau value adalah sesuatu yang dianggap penting atau berharga bagi seseorang. Dalam filsafat dikenal ada tiga jenis tolok ukur nilai yaitu logika, moral, dan estetika. Nilai logika hanya mengenal benar atau salah ditinjau dari penalaran. Nilai moral menimbang baik atau buruknya sesuatu bagi kepentingan diri dan masyarakat. Sementara estetika menekankan indah atau tidaknya sesuatu. Keyakinan terhadap suatu nilai tertentu dipengaruhi oleh adat istiadat dan religiusitas seseorang. Seseorang yang tinggal dalam komunitas yang menjunjung tinggi adat istiadat ataupun menjunjung tinggi keyakinan agama, maka akan cenderung mengadopsi nilai-nilai moral yang lebih kuat. Tindak-tanduknya cenderung merujuk pada petunjuk adat atau ajaran agama yang diyakini. Singkatnya apa yang dianggap oleh seseorang sebagai hal yang penting akan berpengaruh terhadap bagaimana merespon termasuk dalam gaya belajarnya.
Peran guru adalah mengenali apa nilai yang dipandang paling penting bagi siswa dan menggunakannya untuk memperlancar kegiatan pembelajaran. Lebih bagus lagi apabila guru mampu mengungkapkan nilai apa yang dapat diambil dari setiap pelajaran yang diberikan bagi siswa. Untuk mengenali kepribadian siswa, guru perlu mengamati, bergaul, dan bertanya pada mereka. Catatan penting dalam aspek ini adalah guru semestinya mau menerima, mendengar,dan menghargai apa yang menjadi minat, hal yang dirasakan, dan apa yang dipandang penting oleh para siswa.
Guru pun dapat mendorong siswa mengenali kecenderungan kecerdasannya, dan mengajari mereka untuk menggunakan gaya belajar yang sesuai . Misalnya dalam pelajaran bahasa, siswa yang dominan kecerdasan interpersonalnya dapat didorong berlatih berpasang-pasangan dengan teman. Sementara siswa dengan kecerdasan intrapersonal didorong untuk tampil tunggal.
Contoh gaya belajar siswa-siswa Gifted dan Talented
Anak-anak yang benar-benar Gifted bukan sekedar siswa yang belajar cepat dengan sedikit usaha. Hasil kerja siswa Gifted juga orisinal, ekstrem advanced untuk anak seusianya, dan secara potensial penting untuk jangka lama. Anak-anak ini mungkin membaca dengan lancar tanpa banyak di ajari pada usia 3 atau 4 tahun. Mereka mungkin memainkan alat music seperti orang dewasa yang ahli, merubah kunjungan mereka ke toko menjadi teka teki matematika, dan sangat terpesona dengan aljabar saat temen-temennya maseh kesulitan untuk menjumlahkan.
Terman dan rekan-rekan sejawatnya menemukan bahwa anak-anak Gifted lebih besar, lebih kuat, dan lebih sehat di banding normanya. Mereka sering kali berjalan dengan leebih cepat dan atletis. Mereka lebih stabil secara emosional di banding teman-teman sebayanya dan menjadi orang dewasa dengan penyesuaian diri yang lebih baik di banding individu kebanyakan. Mereka memiliki tingkat  delingkuensi, masalah emosional, perceraian, masalah obat, dan lain-lain yang lebih rendah. Siswa Gifted cendrung lebih suka berteman dengan anak yang lebih tua dan mungkin cepat bosan bila berteman dengan anak-anak seumurnya. Dalam menangani siswa Gifted dan Talented guru harus imajinatif, fleksibel, toleran, dan tidak merasa terancam oleh kemampuan siswa.
Siswa-siswa Gifted belajar dengan mudah dan cepat dan menyimpan apa yang telah mereka pelajari, menggunakan commonsense dan pengetahuan praktis, tahu banyak hal yang tidak di ketahui anak-anak lain, menggunakan kata-kata dalam jumlah besar dengan mudah dan akurat, mengenali berbagai hubungan dan memahami maknanya, waspada dan pengamat yang tajam serta merespon dengan cepat, persisten dan sangat termotivasi di beberapa tugas, dan kreatif atau membuat koneksi-koneksi yang menarik. Sedangkan siswa nonGifted mereka cukup kesulitan menerima pelajaran dari guru.
2.3 PERBEDAAN BUDAYA DAN GENDER DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
1.      Pengaruh Budaya keterkaitannya dengan Sekolah
             Kebudayaan itu sangat berpengaruh dalam lingkungan sekolah. Teman, kelompok, yang ada pada suatu saat akan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Selanjutnya anak dipengaruhi oleh kepala sekolah dan guru-guru, yang masing-masing mempunyai kepribadian sendiri-sendiri yang antara lain terbentuk atas golongan sosial dari mana ia berasal dari orang-orang yang dipilihnya sebagai kelompok pergaulannya. Pendidikan sendiri dapat dipandang sebagai sosialisasi, yang terjadi dalam interaksi sosial. Maka karena itu sudah sewajarnya seorang pendidik harus berusaha menganalisa lapangan pendidikan dari segi sosiologi, mengenai hubungan antara manusiawi dalam keluarga di sekolah, diluar sekolah, dalam masyarakat dan sistem-sistem sosialnya. Selain memandang anak sebagai makhluk sosial, sebagai anggota dari berbagai macam lingkungan sosial.
Proses sosial dimulai dari interaksi sosial yang didasarkan pada faktor-faktor berikut ini :
1.      Imitasi. Peniruan yang bisa bersifat positif atau negatif yang dilihat peserta didik dari lingkungannya
2.      Sugesti, Sesorang yang memiliki sifat tertarik atau menerima pada pandangan atau sikap orang lain yang berwibawa atau berwewenang atau mayoritas.
3.      Identifikasi, Seorang anak akan mensosialisasikan lewat identifikasi, ia akan berusaha menyamakan dirinya dengan orang lain baik secara sadar maupun tidak sadar.
4.      Simpati, Sikap ini akan terjadi jika sesorang tertarik terhadap orang lain.
Faktor perasaan disini sangat dominan dan biasanya terjadi hubungan yang akrab diantaranya. Keempat faktor tersebut yang mendasari sosialisasi anak-anak dimana terjadi suatu tingkatan keterlibatan hati anak-anak dalam mengadakan proses sosial.
Jadi, budaya sangat berpengaruh dalam perkembangan siswa. Dengan budaya mereka bisa bersosialisasi di dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun lungkungan masyarakat.
2. Perbedaan Gender dan perbedaan perlakuan di dalam kelas
           Gender merupakan aspek psikososial dari laki-laki dan perempuan, berupa perbedaan yang di bangun secara sosial budaya. Perbadaan jenis kelamin mempengararuhi pendidikan hal ini dapat dilihat dalam penilaian dalam mata pelajaran olahraga, secara fisik laki-laki lebih kuat di bandingkan perempuan, dalam penilaian praktik olahraga harus guru membedakan penilainya terhadap siswa laki-laki dan perempuan, misalnya sewaktu penilaian lompat jauh harus di bedakan antara laki-laki dan perempuan, penilainya terhadap siswa laki-laki dan perempuan, misalnya sewaktu penilaian lompat jauh harus di bedakan antara laki-laki dan perempuan,  ketimpangan  gender dalam pendidikan diluar sekolah menghasilkan perbedaan yang menggangu untuk kedua gender, menghalangi usaha anak laki-laki dan perempuan untuk menemukan jati diri mereka, dan mengangu persiapan mereka untuk masa depan.   Prestasi akademik tidak dapat dijelaskan melalui perbedaan biologis, factor sosial kulturlah yang merupakan alasan utama yang menyebabkan terdapat perbedaan gender dalam prestasi akademik.  Factor –faktor tersebut meliputi familiaritas siswa dengan mata pelajaran, perubahan aspirasi pekerjaan, persepsi terhadap mata pelajaran khusus  yang dianggap tipikal gender tertentu, gaya penampilan laki-laki dan perempuan, serta harapan guru.  Sebagian guru memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda, meskipun pada umumnya perempuan memiliki prestasi yang lebih baik dibandingkan laki-laki di sekolah dasar, perempuan sering kehilangan prestasi di sekolah menengah, khususnya dalam mata pelajaran matematika dan sains, padahal penelitian pada kemampuan kognitif laki-laki dan perempuan sejak lahir sampai dewasa, tidak ada yang menemukan bahwa laki-laki memiliki bakat intrinsik yang lebih besar  dalam metematika dan sains. Hal ini tidak terlepas dari adanya stereotip gender yang ada, yaitu anak laki-laki didorong untuk mencapai prestasi, sementara anak perempuan didorong untuk aktifitas mengasuh. Perbedaan yang Nampak dalam interaksi guru-siswa (sadkers dalam Elliott  1999 )menemukan bahwa siswa laki-laki menerima lebih banyak komentar, khususnya lebih banyak pujian, kritikan remidisasi, guru lebih banyak bertanya kepada anak  laki-laki di bandingkan anak perempuan, serta menunggu lebih lama untuk menjawabnya. Perbedaan  anak laki-laki dan perempuan lebih disebabkan oleh perlakuan dari lingkungan mereka, dalam hal ini orang tua maupun guru di sekolah.  Oleh karena itu guru seharusnya memberi kesempatan yang sama kepada siswa laki-laki maupun perempuan dalam berbagai aktivitas  pembelajaran. Siswa perempuan perlu di dorong untuk lebih aktif dalam pelajaran-pelajaran  yang selama ini di anggap pelajaran laki-laki, seperti pelajaran matematika dan sains. Jika selama ini siswa perempuan terlihat kuarang aktif dalam dikusi di kelas, maka guru juga perlu untuk memberikan dukungan yang memadai agar mereka memiliki kepercayaan diri untuk menyampaikan pendapat. Dengan demikian pada akhirnya tidak ada lagi perbedaan perlakuan yang disebabkan karena jenis kelamin yang dimiliki siswa. Selanjutnya siswa akan belajar dan berprestasi sesuai dengan potensi masing-masing, terlepas dari ia dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki.   
Sebagai contoh, sebagian geru sekolah menghabiskan lebih banyak waktu akademiknya dengan anak laki-laki di bidang matematika dan dengan anak perempuan di bidang membaca. Di salah satu studi, guru geometri SMA mengarahkan sebagian besar pertanyaannya kepada anak laki-laki, meskipun anak perempuan lebih sering bertanya dan menjawab pertanyaan secara sukarela. Beberapa peneliti menemukan bahwa sebagian guru cendrung menerima jawaban yang salah dari anak perempuan. Demikian pula pada hal belajar, sekolah cendrung member reward pada perilaku pasif dan kooperatif pada anak perempuan. Cara belajar anak laki-laki dan perempuan itu berbeda di sekolah. Anak perempuan mendapat perlakuan khusus dan program khusus. Dan anak laki-lakilah yang lebih lamban membaca, lebih banyak yang drop-out dari sekolah, lebih banyak yang harus didisiplinkan, lebih banyak berada di program-program untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Di sekolah anak perempuan lebih baik, anak laki-lakilah yang terlibat masalah dan program-program khusus untuk anak laki-lakilah yang di perlukan.

1 komentar: